Ah, Kandita
Ah, Kandita
Oleh: Nha Arnot
pic from pinteres |
“Hai…sorry Dit.
Tadi agak macet. Yah, biasa hari Senin suka macet.” Aku membukakan pintu mobil
untuknya.
“Ohiya, gak
apa-apa.” Jawabnya dengan senyum dipaksakan.
Namanya Kandita.
Dia cewek paling manis yang pernah kutemui. Pertemuan pertama kita dua tahun
lalu di tempat kursus presenter kawasan Tamansari, tapi baru menjalin pacaran
setahun yang lalu setelah dipertemukan lagi di acara musik yang sama. Dia memiliki
rambut lurus dan hitam panjang sebahu, tubuh tinggi dengan kulit sawo matang, dan bibir merah. Selain
wajahnya yang manis, aku suka dengan kepribadiannya yang unik dan selalu nuntut
sesuatu. Itu membuatku semakin tertantang dan selalu berbuat ke arah yang lebih
baik.
Aku putar
lagu-lagunya The Sigit, lagu kesukaan kita berdua untuk memecah kesunyian dalam
mobil karena sedari tadi, takada satu kalimat lagi yang keluar dari mulut
Kandita. Dia hanya menatap keluar jendela. Entah apa yang begitu menarik
perhatiaanya di luar sana.
“Kamu ada
masalah? Cerita, dong!” tanyaku penasaran.
“Gak ada. Udah,
fokus nyetir saja.” Jawabnya singkat tanpa menoleh sedikit pun.
Ah, Kandita. Kenapa lagi dia? Tanyaku dalam
hati. Pasti ada yang salah dalam diriku, pikirku
lagi. Gak mungkin sikapnya seperti ini
tanpa ada masalah yang kubuat. Tetapi apa? Apa yang salah dalam diriku?Aku
masih bertanya-tanya dalam hati.
Tanpa terasa,
kita sudah sampai di tempat tujuan. Kandita berkata satu hal sebelum dirinya
turun. “Gak usah jemput, ya. Aku mau ke toko buku dulu bareng Vina. Sebelum
magrib aku pulang, kok diantar dia!”
“Okey…By the way, kamu beneran gak apa-apa?”
dia hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Yaudah, aku
pergi dulu. Kamu hati-hati nanti ya!” lagi-lagi dia hanya menjawabnya dengan
isyarat tubuh, mengganggukkan kepala.
Kubawa mobilku menuju kampus di
JalanTamansari. Aku mahasiswa seni rupa angkatan akhir di sana. Walaupun hari
ini gak ada mata kuliah, aku tetap ingin ke sana untuk sekadar bertemu
kawan-kawan. Lagunya Lana Del Rey, Summertime
Sadness mengiringi perjalananku. Kandita suka banget dengan lagu-lagunya
Lana.
Aku masih
memikirkan sikapnya yang dingin. Gak mungkin rasanya dia sedingin itu hanya
gara-gara aku tadi telat menjemputnya. Toh, kita masih tepat waktu untuk sampai
ke kampus. Aku urut-urut kejadian kemarin-kemarin, pasti ada sesuatu yang
salah. Aku benar-benar lalai. Padahal Kandita gak pernah lalai sedikit pun. Dia
sangat detail dan perhatian. Cowok macam apa aku ini.
Kampusku masih
sepi. Parkiran mobil pun masih sangat lenggang. Aku menuju perpustakaan. Lebih
tepatnya taman yang dekat perpustakaan. Aku berniat menemui si Dono, kawan
dekatku yang sangat jenius dalam hal percintaan. Setiap hari Senin sampai Rabu
selama 12 jam dari pukul 6 pagi sampai 6 sore dia pasti ada di sana. Entah apa
yang dilakukannya, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.
“Don…cewek gue lagi ngambek.”
Aku langsung duduk di sebelahnya.
“Eh Lo. Kenapa lagi si Kandita?”
tanyanya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
“Gak tahu, tiba-tiba sikapnya
dingin.”
“Lo ada lupa sesuatu kali.”
“Gue juga mikirnya gitu, tetapi
apa ya?”
“Coba inget-inget. Mungkin Lo
ada janji mau ngajak dia jalan atau belikan dia sesuatu.”
“Astaga…Iya gue lupa.”
“Apa?”
“Gue udah janji mau belikan tas.
Minggu kemaren gue lupa bawa ATM waktu jalan. Don.”
“Kandita…Kandita…Entah apa yang
dia lakuin sampai-sampai buat lo jadi segitunya.”
“Dia itu baik banget, Don.
Makanya, gue juga harus baik ke dia.”
“Yaudah, Lo sana beli dulu
tasnya terus kasih ke cewek Lo.”
“Okey, Don. Gue duluan, ya.
Thanks!”
Tidak sia-sia aku datang ke
kampus dan datangin si Doni. Aku gak langsung pergi membeli tas itu, megingat
ini masih pagi. Lagian, Kandita baru pulang ke rumah sekitar Magriban. Aku
putuskan untuk menghampiriku kawanku yang lainnya masih di sekitaran kampus. Ah,
Kandita. Aku benar-benar lupa tentang tas itu. Pantassaja dia dingin
terhadapku.
Matahari sudah hampir pergi
melarikan diri. Aku berangkat menuju sebuah distro di kawasan Trunojoyo.
Untungnya tas itu masih ada. Mobilku lalu melaju ke rumah Kandita. Butuh waktu
50 menit untuk sampai ke rumahnya. Aku ingin segera sampai ke rumahnya. Aku
ingin Kandita tersenyum lagi.
Sebelum Aku
turun dari mobil, Kandita udah berdiri di depan pintu dengan menyandarkan
bahunya pada tembok rumah. Meski dengan wajah yang muram, dia selalu terlihat
manis. Ah, Kandita. Kamu paling bisa menguji kesabaranku dengan cara-cara kayak
gini. Kamu memang sulit ditebak.
“Kamu ada apa
lagi?” suaranya datar.
“Aku mau ngasih
ini.” Aku sodorkan paper bag berisi
tas yang diinginkannya. “Sorry ya.
Aku benar-benar lupa tentang kamu pengen dibeliin tas ini.”
“Edwin…”
ekspresinya nanar tanpa meraih tas yang aku sodorkan.
Aku pegang
tangan halusnya sebelum dia tambah marah. “Sekali lagi sorry, Dit. Aku janji gakkan buat kamu bête lagi kayak tadi.”
“Edwin…bukan
karena tas” Kandita melepaskan tangannya. Pipinya memerah.
“Maksud kamu?”
tanyaku perlahan.
“Aku gak butuh
tas itu. Aku cuman kecewa sama kamu. Aku kecewa kamu gak ingat hari spesial
kita. Anniversary pertama kita hari
ini. Kamu lupa, kan?” Dia menjatuhkan air mata yang sedari tadi dibendungnya.
Ah, Kandita. Aku
menghela napas panjang. Jadi itu sebabnya seharian tadi dia badmood. Bukan karena tas. Aku peluk dia
sebelum air matanya jatuh terlalu banyak. “Diana Kandita, Aku sama sekali gak
pernah lupa anniversary kita. Bagiku,
setiap hari itu spesial karena ada kamu. Bukan cuma hari ini saja. Rasa spesial
yang ada dalam diriku, lebih dari sekadar kata-kata. Jadi kamu gak usah
khawatir aku bakalan lupa. Tapi kalau mengucapkan happy anniversary membuatmu bahagia, baiklah. Happy first anniversary, sayang.”
Comments
Post a Comment