Ah, Kandita


Ah, Kandita
Oleh: Nha Arnot

pic from pinteres
Hari ini adalah Senin pagi di awal  Oktober. Seperti biasa, aku harus harus antar cewekku ngampus. Jika tidak, dia akan ngambek dan gak bicara seharian. Walaupun begitu, aku tetap sayang dia. Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Artinya, aku harus buru-buru untuk segera sampai di rumah cewekku ini yang terletak di kawasan Setiabudhi, Bandung dan mengantarnya ke kampus di kawasan Dipatiukur. Jalanan begitu macet sehingga membuatku telat datang. Sebelum sampai ke rumahnya, dia udah nunggu di depan pintu gerbang.
“Hai…sorry Dit. Tadi agak macet. Yah, biasa hari Senin suka macet.” Aku membukakan pintu mobil untuknya.
“Ohiya, gak apa-apa.” Jawabnya dengan senyum dipaksakan.
Namanya Kandita. Dia cewek paling manis yang pernah kutemui. Pertemuan pertama kita dua tahun lalu di tempat kursus presenter kawasan Tamansari, tapi baru menjalin pacaran setahun yang lalu setelah dipertemukan lagi di acara musik yang sama. Dia memiliki rambut lurus dan hitam panjang sebahu, tubuh tinggi dengan  kulit sawo matang, dan bibir merah. Selain wajahnya yang manis, aku suka dengan kepribadiannya yang unik dan selalu nuntut sesuatu. Itu membuatku semakin tertantang dan selalu berbuat ke arah yang lebih baik.
Aku putar lagu-lagunya The Sigit, lagu kesukaan kita berdua untuk memecah kesunyian dalam mobil karena sedari tadi, takada satu kalimat lagi yang keluar dari mulut Kandita. Dia hanya menatap keluar jendela. Entah apa yang begitu menarik perhatiaanya di luar sana.
“Kamu ada masalah? Cerita, dong!” tanyaku penasaran.
“Gak ada. Udah, fokus nyetir saja.” Jawabnya singkat tanpa menoleh sedikit pun.
Ah, Kandita. Kenapa lagi dia? Tanyaku dalam hati. Pasti ada yang salah dalam diriku, pikirku lagi. Gak mungkin sikapnya seperti ini tanpa ada masalah yang kubuat. Tetapi apa? Apa yang salah dalam diriku?Aku masih bertanya-tanya dalam hati.
Tanpa terasa, kita sudah sampai di tempat tujuan. Kandita berkata satu hal sebelum dirinya turun. “Gak usah jemput, ya. Aku mau ke toko buku dulu bareng Vina. Sebelum magrib aku pulang, kok diantar dia!”
“Okey…By the way, kamu beneran gak apa-apa?” dia hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Yaudah, aku pergi dulu. Kamu hati-hati nanti ya!” lagi-lagi dia hanya menjawabnya dengan isyarat tubuh, mengganggukkan kepala.
             Kubawa mobilku menuju kampus di JalanTamansari. Aku mahasiswa seni rupa angkatan akhir di sana. Walaupun hari ini gak ada mata kuliah, aku tetap ingin ke sana untuk sekadar bertemu kawan-kawan. Lagunya Lana Del Rey, Summertime Sadness mengiringi perjalananku. Kandita suka banget dengan lagu-lagunya Lana.
Aku masih memikirkan sikapnya yang dingin. Gak mungkin rasanya dia sedingin itu hanya gara-gara aku tadi telat menjemputnya. Toh, kita masih tepat waktu untuk sampai ke kampus. Aku urut-urut kejadian kemarin-kemarin, pasti ada sesuatu yang salah. Aku benar-benar lalai. Padahal Kandita gak pernah lalai sedikit pun. Dia sangat detail dan perhatian. Cowok macam apa aku ini.
Kampusku masih sepi. Parkiran mobil pun masih sangat lenggang. Aku menuju perpustakaan. Lebih tepatnya taman yang dekat perpustakaan. Aku berniat menemui si Dono, kawan dekatku yang sangat jenius dalam hal percintaan. Setiap hari Senin sampai Rabu selama 12 jam dari pukul 6 pagi sampai 6 sore dia pasti ada di sana. Entah apa yang dilakukannya, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.
                “Don…cewek gue lagi ngambek.” Aku langsung duduk di sebelahnya.
                “Eh Lo. Kenapa lagi si Kandita?” tanyanya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
                “Gak tahu, tiba-tiba sikapnya dingin.”
                “Lo ada lupa sesuatu kali.”
                “Gue juga mikirnya gitu, tetapi apa ya?”
                “Coba inget-inget. Mungkin Lo ada janji mau ngajak dia jalan atau belikan dia sesuatu.”
                “Astaga…Iya gue lupa.”
                “Apa?”
                “Gue udah janji mau belikan tas. Minggu kemaren gue lupa bawa ATM waktu jalan. Don.”
                “Kandita…Kandita…Entah apa yang dia lakuin sampai-sampai buat lo jadi segitunya.”
                “Dia itu baik banget, Don. Makanya, gue juga harus baik ke dia.”
                “Yaudah, Lo sana beli dulu tasnya terus kasih ke cewek Lo.”
                “Okey, Don. Gue duluan, ya. Thanks!”
                Tidak sia-sia aku datang ke kampus dan datangin si Doni. Aku gak langsung pergi membeli tas itu, megingat ini masih pagi. Lagian, Kandita baru pulang ke rumah sekitar Magriban. Aku putuskan untuk menghampiriku kawanku yang lainnya masih di sekitaran kampus. Ah, Kandita. Aku benar-benar lupa tentang tas itu. Pantassaja dia dingin terhadapku.
                Matahari sudah hampir pergi melarikan diri. Aku berangkat menuju sebuah distro di kawasan Trunojoyo. Untungnya tas itu masih ada. Mobilku lalu melaju ke rumah Kandita. Butuh waktu 50 menit untuk sampai ke rumahnya. Aku ingin segera sampai ke rumahnya. Aku ingin Kandita tersenyum lagi.
Sebelum Aku turun dari mobil, Kandita udah berdiri di depan pintu dengan menyandarkan bahunya pada tembok rumah. Meski dengan wajah yang muram, dia selalu terlihat manis. Ah, Kandita. Kamu paling bisa menguji kesabaranku dengan cara-cara kayak gini. Kamu memang sulit ditebak.
“Kamu ada apa lagi?” suaranya datar.
“Aku mau ngasih ini.” Aku sodorkan paper bag berisi tas yang diinginkannya. “Sorry ya. Aku benar-benar lupa tentang kamu pengen dibeliin tas ini.”
“Edwin…” ekspresinya nanar tanpa meraih tas yang aku sodorkan.
Aku pegang tangan halusnya sebelum dia tambah marah. “Sekali lagi sorry, Dit. Aku janji gakkan buat kamu bête lagi kayak tadi.”
“Edwin…bukan karena tas” Kandita melepaskan tangannya. Pipinya memerah.
“Maksud kamu?” tanyaku perlahan.
“Aku gak butuh tas itu. Aku cuman kecewa sama kamu. Aku kecewa kamu gak ingat hari spesial kita. Anniversary pertama kita hari ini. Kamu lupa, kan?” Dia menjatuhkan air mata yang sedari tadi dibendungnya.
Ah, Kandita. Aku menghela napas panjang. Jadi itu sebabnya seharian tadi dia badmood. Bukan karena tas. Aku peluk dia sebelum air matanya jatuh terlalu banyak. “Diana Kandita, Aku sama sekali gak pernah lupa anniversary kita. Bagiku, setiap hari itu spesial karena ada kamu. Bukan cuma hari ini saja. Rasa spesial yang ada dalam diriku, lebih dari sekadar kata-kata. Jadi kamu gak usah khawatir aku bakalan lupa. Tapi kalau mengucapkan happy anniversary membuatmu bahagia, baiklah. Happy first anniversary, sayang.”

Comments

Popular Posts