Bukit Moko


BUKIT MOKO
Oleh: Nha Arnot

5 AM … Saat fajar kedua tampak menjelang, tiga orang remaja menuju sebuah bukit. Membutuhkan waktu satu jam untuk mencapai  tempat tersebut. Matahari masih mempersiapkan diri untuk memberikan penerangan pada semesta. Aruna, wanita satu-satunya dari tiga remaja tersebut paling bersemangat dalam perjalanan ini. Semakin mendekati bukit, langit semakin terang. Gugi, yang mendapat giliran menyetir menepikan mobilnya untuk bersama-sama menikmati sunrise. Aris tak pernah lupa untuk mengabadikan momen sunrise, sedangkan Aruna memilih untuk diam saja menikmati sentuhan hangat sang surya.
Setelah mobil terparkir, Mereka berjalan beberapa meter untuk memasuki kawasan Bukit Moko.  Di kanan dan kiri jalan setapak, dikelilingi oleh pohon pinus yang menjulang tinggi. Bunga-bunga pinus yang berjatuhan dari pohonnya berserakan dimana-mana. Warna tanah yang merah kecoklatan membuat hutan ini semakin dramatis. Embun pagi yang membasahi tanaman-tanaman kecil di sepanjang jalan setapak menyejukkan setiap kaki melangkah.
Dari kejauhan, Aruna melihat seseorang diantara pepohonan pinus. Rambutnya yang panjang dengan bucket hat bergambar ice cream menutupi wajahnya. Aruna pun penasaran dengan orang tersebut sampai tanpa disadari dia telah mendekatinya. Menjauh dari Gugi dan Aris yang asik memotret.
“Halo, sedang apa kamu disini?” tanya Aruna terkejut melihat seorang gadis cantik seusianya duduk sendiri di bawah pohon pinus.
“Oh, hai…aku sedang membaca buku baruku.” jawabnya dengan senyum manis. 
“Kamu sendiri sedang apa?” gadis itu menanyakan hal yang sama.
“Aku … aku … lagi jalan-jalan bareng teman kebetulan sambil mencari inspirasi untuk tugas cerpen sekolah. Boleh aku duduk di sampingmu?”  
“Oh, tentu saja, silakan!” jawabnya dengan senyum tulus. Gadis itu sedikit menggeser posisi duduknya agar Aruna bisa ikut bersandar pada pohon pinus.
Aruna duduk di sampingnya. Bola matanya mengamati sekitar pohon-pohon pinus yang lain, tatapannya kosong. Gadis itu seperti memahami perasaan Aruna. 
“Ada apa? tanyanya. Kamu terlihat bingung.”
Aruna tersenyum, “Aku sebetulnya lagi bingung. Aku butuh inspirasi untuk membuat cerpen. Aku betul-betul kehabisan ide.”
“Kamu tahu ini apa?” Gadis itu menunjukkan sebuah bunga yang sedari tadi di genggam di tangan kirinya.
“Bunga pinus.” Jawab Aruna yakin.
“Yap, kamu bisa mengarang cerita khayalan dari sebuah bunga pinus ini. Bayangkan ini sebuah bunga pinus ajaib. Jika bunga ini ditanam, akan tumbuh menjadi pohon yang menyebabkan semua yang duduk di bawahnya tidur lelap dan mengalami mimpi indah.”
“Atau kamu bisa membayangkan bunga pinus ini adalah sebuah hand grenade yang ketika di lemparkan pada manusia, dirinya akan berubah 10 tahun lebih tua.” lanjutnya. Matanya membelalak senang, seperti anak kecil yang diberi cotton candy berukuran besar.
“Aku mengerti!” Aruna mengangguk. Bunga pinus itu beralih ke tangannya. “Ngomong-ngomong, kamu sering datang kesini?”
“Tidak begitu sering. Aku selalu datang saat aku betul-betul merasa jenuh. Aku kadang bingung, sebagian orang tergesa-gesa untuk mencapai tujuannya. Sementara aku, aku masih disini. Mencari tahu bagaimana pohon masih bisa berdiri meski diterpa angin dan hujan. Bagaimana ia bisa setia meski ditinggal daun dan buahnya.” Cerocos gadis itu.
Aruna memutar-mutar bunga pinus yang ada di genggamannya. Dia berpikir, apa yang barusan dikatakan oleh gadis itu ada benarnya juga. Hal itu pula yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Teman-teman sekelasnya lebih memilih untuk copy-paste cerpen dari internet. Sementara dirinya memilih untuk membuat cerpennya sendiri dengan mencari inspirasi hingga mengharuskannya datang ke Bukit Moko. Semilir angin menembus ke dalam pori-pori tubuhnya hingga menyelinap ke bagian hati seperti memberi tanda kemenangan. 
“Kamu suka menulis?” tanya Aruna lagi.
“Kadang-kadang. Aku lebih suka menulis untuk diriku sendiri di buku harian. Aku juga suka menulis surat untuk orang-orang dekatku, tapi tidak pernah kukirimkan. Kalau sedang dekat dengan alam seperti ini, aku suka menulis puisi. Apa kamu tahu? Saat datang ke tempat seperti ini, semesta seolah-olah ikut berkonspirasi dalam ide tulisan-tulisanku itu.” Gadis itu tak beralih sedikitpun dari buku yang dibacanya meski menjawab pertanyaan Aruna.
Aruna lagi-lagi terpana dengan jawaban gadis itu. Saat Aruna larut dengan lamunan tentang cerita-cerita yang akan dibuatnya dari sebuah bunga pinus, Gugi dan Aris memanggil Aruna bergantian. 
Aruna pun tersadar dan melongokkan kepalanya ke arah suara-suara itu. “Aku disini,” teriaknya.
“O iya, siapa namamu?” tanya Aruna seraya berdiri.
“Aruna Dipta.” Jawab gadis itu.
Aruna melongo beberapa detik dan menoleh ke arah Gugi dan Aris yang mendekatinya. Aruna Dipta, fajar yang cerah dan terang. Itu adalah namaku, jelas Aruna dalam hati. Saat pandangannya kembali pada gadis itu, dia menghilang. Aruna tidak menyadari bahwa gadis yang bersamanya tadi adalah imajinasinya sendiri. Rupanya semesta  memang sedang berkonspirasi. 
Masih dengan perasaan tak percaya, Aruna bertanya pada Aris , “jam berapa sekarang Ris?”
“Sudah pukul 9. Mau pulang sekarang? Atau mau take foto dulu?” tanya Aris. Bukannya menjawab pertanyaan Aris, dia malah mendesis dalam hati, 20 menit dalam dunia imajinasiku sama dengan 3 jam dalam dunia nyata. Terima kasih Aruna Dipta, imajinasiku. Terima kasih Bukit Moko. Aruna tersenyum sambil melengos pergi, Aris dan Gugi mengikutinya dari belakang.




Profil penulis
Nama: Erna S. Solihat
Nama Pena: Nha Arnot
Email: Bukuharianmerahjambu@gmail.com
Note: Jika ingin copy paste cerpen di atas, jangan lupa cantumkan nama penulisnya ya ;)

Comments

  1. Thanks for share, nice post,.
    Visit my site at http://bit.ly/2Zr6YRE

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts