Bulan, Gorengan, dan Kita


       Saya bersama saudara saya, Arga menelusuri Jatinangor tercinta di malam yang cerah dan sunyi. Tidak ada persinggahan lain selain tukang gorengan yang ada di daerah Sayang. Gorengan yang diberi nama dagang Gorengan Berkat Iman dan Takwa itu memang salah satu kuliner yang wajib disinggahi.
       “Bi, gorengannya lima ribu, campur-campur ya. Cabainya agak banyakan, Bi.”
Gorengan tuh udah kayak belahan jiwa saya. Hampir setiap pagi saya selalu menyantap gorengan bersama teman sejatinya, yaitu kopi. Bukan hanya nikmat saat disantap, tetapi dunia pun serasa indah.
      Mari kita berkenalan dengan spesies gorengan yang berasal dari kota yang banyak mojangnya, tetapi percuma karena tidak ada satu pun yang tertarik kepada saya. Ha…ha…ha.
Cireng merupakan singkatan dari aci digoreng. Simple! Cireng hanya berbahan aci jika dalam Bahasa Indonesia bernama tepung kanji yang dicampur dengan air dan diaduk rata kemudian digoreng. Sama simple-nya seperti kisah hidup saya yang sudah menginjak usia 21 tahun, tetapi hanya punya satu mantan pacar. Simple!
      Bala-bala adalah sejenis gorengan yang terbuat dari macam-macam sayuran. Wortel dan kol yang diiris panjang tipis, ditambah irisan kecil bawang daun, dan dicampur dengan terigu. Masukkan air, taburi bumbu, diaduk rata, kemudian digoreng dengan ukuran sesuai selera. Disebut bala-bala karena bahan pembuatannya barala yang dalam Bahasa Indonesia artinya berantakan, seberantakan kisah cinta saya dengan mantan satu-satunya itu.
       Pisang goreng adalah pisang yang dipotong seukuran jari tengah, dicampur dengan adonan terigu, lalu digoreng. Pisang ini modifikasinya sangat luar biasa. Ada yang mengubahnya menjadi pisang aroma; pisang yang dipotong panjang dan digulung dengan kulit lumpia kemudian digoreng. Ada juga pisang molen; pisang dibalut seperti selimut dengan kulit yang terbuat dari terigu kemudian digoreng. Apapun namanya, toh inti dari gorengan ini adalah pisang. Sama halnya dengan saya, mau luarnya didandani layaknya seorang rocker, metal, atau punk pun hati saya tetap pink.
       Comro adalah seseorang yang hatinya sepi atau fakir asmara. Oh maaf, itu jomblo! Comro adalah singkatan dari oncom di jero. Jero itu artinya dalam. Di dalam mana? Dalam adonan singkong yang sudah diparut dan diaduk rata dengan air. Dibentuk dan disisipkan oncom didalamnya, kemudian digoreng.
      Gehu adalah gorengan dengan bahan dasar tahu dan diisi dengan tauge. Setelah itu, dicampur ke dalam adonan terigu yang sudah diaduk rata dengan air kemudian digoreng hingga menguning. Akan tetapi, akhir-akhir ini sedang menjamur pedagang yang menjual gehu pedas dengan varian rasa. Walaupun berbahan dasar tahu, tetapi isinya bukan tauge, melainkan wortel.  Selain wortel, divariasikan juga dengan menambahkan bahan lain di dalamnya. Ada yang rasa telor puyuh, ati ampela, ayam, dan keju. Ini jauh dari filosopi gehu yang berarti tauge dan tahu. Mungkin seharusnya ganti nama dengan lorhu, tihu, yamhu, atau juhu. Ha…ha…ha. Bervariasi seperti gebetan-gebetan saya yang banyak, tetapi gak ada yang nyangkut satu pun.
     “Nyos, mulang ah! Unah mbalem euy, angu unah nganuk,” ajaknya dengan mulut yang masih mengunyah gorengan seraya berdiri dan mengelapkan tangannya yang berlumuran minyak ke celana.
      “Ayo-ayo, kamu yang nyetir motor ya!”
      “Hip-hip”, jawabnya masih dengan mulut yang tersumpal gorengan.
Saat saya membayar gorengan, dia sibuk dengan motor tua saya. Sepertinya ada masalah dengan motor itu. Sampai-sampai, kerutan keningnya hampir menyerupai keset. Ha…ha..ha
      “Kenapa euy?”
      “Gak bisa nyala euy.”
      “Rada kencang nyelahnya.”
      “Susah, ini juga udah sekuat tenaga.”
Saya hanya berkacak pinggang dengan  memasang tampang kerennya Vino G. Sebastian.
      “Wah ini mah habis bensin kayaknya.”
      “Pom bensinnya jauh, gimana atuh euy.”
      “Ya terus mau gimana lagi.”
      “Ya udah deh ayo dorong ke pom.”
Si Arga mendorong motor tua saya dan saya hanya sebagai arah penunjuk jalan. Ha…ha…ha… Jalanan begitu sepi, maklum ini jalan mati.
      “Aduh, sepi euy. Saya takut diperkosa.” Bisik si Arga.
      “Ha…ha…ha…kalau yang merkosanya cantik mirip Selena Gomez mah gak apa-apa.”
      “Ini malam apa?” tanyanya.
      “Malam Selasa wage kayaknya mah. Emang kenapa?”
      “Pantesan bulan bentuknya bulat.”
      “Memang biasanya kotak?”
      “Trapesium.”
      “Wuuuu…gelo maneh mah.” (gila kamu)
Ha…Ha…Ha…Kami tertawa, bulan tertawa, sisa-sisa gorengan yang nyangkut di gigi pun gak mau kalah ikutan tertawa.
       Ketika hendak gantian untuk mendorong motor, mata saya tertuju pada kunci motor dan ternyata KUNCI KONTAK ADA DI OFF!!! sengaja diperbesar agar terlihat banget kagetnya. Mau diisi bensin sampai ngebludak pun ini motor jelas gak akan bisa nyala kalau kuncinya belum ON.
      “Ahhhh….kampreeet, ini kuncinya belum di-on-kan!”
      “Masak? Ha…Ha….Ha…”
      Bulan tertawa, motor tertawa, jalanan pun tertawa. Rasanya ingin terjun bebas saja dari atas jembatan cincin. Setelah mendorong motor jauh-juh, ternyata Arga belum mengontakkan kuncinya.    Arga…bolehkah kamu saya jadikan gorengan?


Profil penulis
Nama: Erna S. Solihat
Nama Pena: Nha Arnot
Email: Bukuharianmerahjambu@gmail.com
Note: Jika ingin copy paste cerpen di atas, jangan lupa cantumkan nama penulisnya ya ;)

Comments

Popular Posts